Rabu, 02 Juli 2025

Mengapa Legacy System Masih Bertahan di Bank-Bank Besar?

Saat Bank Besar Masih Andalkan Teknologi Lama

Di tengah era cloud computing dan real-time analytics, mengejutkan bahwa banyak bank besar di dunia—termasuk di Indonesia—masih menjalankan operasional mereka menggunakan legacy system. Sistem ini, meski terlihat kuno, tetap menjadi tulang punggung transaksi bernilai miliaran rupiah setiap harinya.

Pertanyaannya: mengapa sistem lama ini tetap dipertahankan?

Keandalan yang Sudah Teruji Selama Puluhan Tahun

Legacy system di dunia perbankan dibangun pada era ketika stabilitas dan keamanan menjadi prioritas utama. Sistem ini dirancang agar tahan gangguan, terukur, dan sangat cocok untuk pemrosesan batch volume besar. Banyak sistem masih menggunakan bahasa pemrograman seperti COBOL, yang meski dianggap usang, terbukti andal dan konsisten.

Karena reputasi keandalannya inilah, bank enggan mengambil risiko mengganti sistem secara total.

Kompleksitas Migrasi Teknologi di Perbankan

Migrasi sistem dalam industri perbankan bukan hanya soal memindahkan data. Hal ini mencakup:

  1. Integrasi dengan ratusan modul seperti core banking, ATM, mobile banking, dan sistem audit

  2. Kepatuhan terhadap regulasi dan standar keamanan tinggi

  3. Risiko downtime yang bisa berdampak luas terhadap nasabah

Dengan tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kesalahan, banyak bank memilih pendekatan bertahap, menyandingkan legacy system dengan middleware modern.

Ketergantungan Internal dan Keterbatasan Sumber Daya

Banyak tenaga IT senior di bank masih sangat mahir dalam pengoperasian sistem lama, sementara adopsi sistem baru seringkali terkendala kurangnya pelatihan, kompatibilitas, atau bahkan resistensi budaya organisasi.

Di sisi lain, vendor atau pengembang sistem legacy juga kerap memberikan dukungan jangka panjang, sehingga membuat sistem lama tetap bisa diandalkan meski tidak lagi dipasarkan secara aktif.

Menuju Transformasi Bertahap: Evolusi, Bukan Revolusi

Bank besar tidak tinggal diam. Kini, pendekatan yang banyak digunakan adalah:

  1. Menambahkan API layer untuk integrasi sistem lama dan aplikasi modern

  2. Menggunakan data lake agar informasi dari legacy system tetap bisa dimanfaatkan dalam analisis canggih

  3. Menjalankan strategi microservices untuk modularisasi proses tertentu

Pendekatan ini memungkinkan transformasi tanpa risiko gangguan besar terhadap layanan inti.

Relevansi Legacy System di Era Digital

Walau bukan teknologi terkini, legacy system tetap punya peran vital:

  • Stabil untuk transaksi harian berskala besar

  • Sudah terverifikasi oleh regulator dan auditor

  • Tidak bergantung pada koneksi internet atau cloud

  • Minim kerentanan terhadap eksploitasi cyber

Namun demikian, ke depan, bank harus siap menghadapi tantangan ketersediaan talent, compliance baru, dan ekspektasi nasabah yang semakin digital-native.

Legacy System: Tulang Punggung Compliance yang Tidak Mudah Digantikan

Untuk perbankan, sistem lama bukan hanya dipandang sebatas software lama, karena sudah menjadi bagian dari struktur yang sangat terikat dengan:

  • Protokol audit internal dan eksternal

  • Format pelaporan yang sesuai dengan regulator seperti OJK atau BI

  • Enkripsi dan log aktivitas yang sudah diuji dan diakui keandalannya

Mengganti sistem ini secara total bukan hanya risiko teknis, tapi juga bisa menyebabkan kegagalan audit atau pelanggaran kepatuhan. Maka banyak bank memilih strategi progressive layering—mengembangkan sistem baru yang berdiri di atas sistem lama, bukan menggantinya secara utuh.

Perubahan Tidak Harus Seketika

Mengganti legacy system bukan seperti menyalakan saklar. Ini adalah proses panjang yang memerlukan strategi jangka panjang. Dan selama transisi berlangsung, sistem lama tetap menjadi tulang punggung yang menjembatani masa lalu dan masa depan teknologi perbankan.

Penulis: Irsan Buniardi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar